Saya jelaskan dulu, apa itu Beragama dan apa itu Tidak Beragama. Beragama berarti memiliki keyakinan religius. Sebuah keyakinan religius mempunyai titik sentral yang menentukan awal, akhir, dan proses dari sesuatu. Titik sentral itu adalah Tuhan. Tuhan itulah yang mengatur sistem dan hukum alam semesta. Dan keyakinan religius pada dasarnya adalah kecenderungan fitrah manusia, ia bukan hasil dari upaya. Kalau kecenderungan fitrah itu diikuti, ia akan menghasilkan ketenangan.
Tidak beragama berarti melawan kecenderungan fitrah itu, menciptakan pertentangan batin di dalam diri, sebuah pekerjaan yang tidak realistis, membangun dunia imajiner yang tidak mendapat dukungan dari sistem dan hukum alam semesta tadi. Hasil akhirnya adalah kegelisahan.
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.” (QS. Thaha: 124)
Dalam Man and Universe, Murtadha Muthahhari menjelaskan dengan panjang lebar “Mengapa Manusia Harus Beragama”. Berikut ini, sari dari apa yang beliau sampaikan itu saya nukilkan di sini, tentunya dengan bahasa saya sendiri.
1. Optimisme
Pertanyaan-pertanyaan yang sering mengusik manusia adalah: Apakah perbuatan baik itu ada gunanya? Apakah kebenaran dan kejujuran itu membantu untuk mencapai tujuan? Dan, apakah akhir dari penunaian tugas mulia hanyalah kesia-siaan?
Sistem alam semesta sudah dirancang oleh Tuhan untuk mendukung orang-orang yang berbuat kebenaran, keadilan, dan integritas. Meskipun, sebelumnya, mereka yang berbuat untuk kebenaran dan keadilan tersebut akan menghadapi ujian. Reaksi dunia tidak sama terhadap orang-orang yang berbuat baik dan terhadap orang-orang yang berbuat buruk.
Orang-orang yang beragama yakin bahwa perbuatan baik – cepat atau lambat – pasti akan mendapatkan ganjaran kebaikan pula untuk dirinya. Dan begitu pula perbuatan jahat akan mendapat ganjaran keburukan. Keyakinan akan hal ini membuat orang yang beragama selalu berusaha untuk menjadikan dirinya baik dan melakukan perbuatan yang baik pula. Ia tidak akan membiarkan dirinya terjebak pada kelemahan dan kemalasan. Karena orang yang beragama yakin bahwa keterbelakangan dirinya adalah akibat kelemahan dan kemalasannya untuk berusaha.
Hal itulah yang membuat orang yang beragama selalu punya pandangan yang optimis terhadap dunia, hatinya tercerahkan, bahwa segala usaha-usahanya akan mendapatkan hasil yang sebanding dengan apa yang ia usahakan.
“…baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan…” (QS. Al-Baqarah: 134)
”Dan barang siapa yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS.An-Nahl: 97)
2. Mengurangi Kecemasan
Yang membuat manusia cemas adalah rasa ragu dan tak pasti. Dan kecemasan manusia yang utama adalah:
– Ketakpastian masa depan, dan
– Kecemasan akan kematian.
Banyak kepahitan dan penderitaan hidup dapat diatasi dengan upaya yang sunguh-sungguh. Namun, ada beberapa (atau mungkin banyak) kejadian dalam hidup yang tidak dapat dicegah dengan usaha sekeras apapun, ia hanya dapat diatasi dengan bantuan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Orang yang beragama yakin bahwa kewajiban manusia hanya berupaya untuk kebaikan semaksimal mungkin agar Tuhan ridha padanya. Ia tidak berkuasa atas hasil dari apa yang telah dilakukannya, hasil dari upaya itu Tuhan-lah yang menentukan. Dan dia percaya bahwa Tuhan selalu punya “skenario” yang lebih baik terhadap dirinya, dan Tuhan tidak akan pernah memberikan hal buruk terhadap segala hal baik yang telah dia upayakan. Inilah yang dalam bahasa agama disebut sebagai Tawakkal.
“Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu baik laki-laki maupun perempuan.” (QS. Ali Imran : 195)
Dan soal kematian, bagi orang yang beragama kematian bukanlah berarti kehancuran total.“Kematian berarti meninggalkan “dunia kerja” menuju ke “dunia hasil”, peralihan dari dunia fana yang kecil ini ke alam abadi yang agung. Karena itu, orang yang beragama menyikapi rasa takut matinya dengan menyibukkan diri dengan amal saleh.” kata Muthahhari.
3. Kepuasan Mental
Ada dua jenis kenikmatan yang dirasakan manusia:
- Kenikmatan yang berkaitan dengan panca indera. Kenikmatan semacam ini terjadi karena kontak organ tubuh dengan objek atau materi tertentu. Misalnya, mata memperoleh kenikmatan dengan melihat, telinga melalui mendengar, lidah dengan merasakan, dan seterusnya. Inilah yang dinamakan kenikmatan material.
- Kenikmatan yang berkaitan dengan jiwa dan batiniah manusia. Kenikmatan serupa ini tidak berkaitan dengan organ tubuh, juga tidak dipengaruhi langsung oleh faktor material. Inilah yang disebut kenikmatan spiritual.
“Kenikmatan spiritual lebih kuat dan lebih abadi ketimbang kenikmatan material. Setiap perbuatan yang dilakukan karena Allah Swt., merupakan perbuatan ibadah dan mendatangkan kenikmatan. Kenikmatan yang dirasakan oleh orang-orang yang tulus beribadah kepada Allah dengan ibadah mereka yang khusyuk adalah kenikmatan spiritual. Dengan kata lain, inilah yang disebut sebagai ‘Nikmatnya Iman’,” ujar Muthahhari.
4. Memantapkan Hubungan Sosial
Manusia tidak bisa hidup sendiri, meskipun itu hanya untuk memenuhi kebutuhan dirinya pribadi. Agar kebutuhannya terpenuhi manusia membutuhkan orang lain, harus ada kerja sama, harus adatake and give.
Manusia tahu apa yang diinginkannya. Yang tidak jelas bagi manusia adalah apa tugasnya terhadap dunia. Agama menjelaskan tentang kewajiban seorang manusia terhadap manusia lainnya. Agama juga menjelaskan tentang peri kehidupan bermasyarakat yang baik.
“Kehidupan sosial dapat dikatakan baik kalau semua individunya menghormati hukum dan hak masing-masing, memperlihatkan rasa bersahabat satu sama lain, dan menganggap suci keadilan. Dalam masyarakat yang sehat, setiap orang menghendaki untuk orang lain apa yang dikehendakinya dan tidak menghendaki untuk orang lain apa yang tidak dikehendakinya. Semua individunya saling percaya, dan rasa saling percaya ini didorong oleh kualitas spiritual mereka,”demikian Muthahhari